Wednesday, July 05, 2006

Penambangan Asosiasi (bagian 3)

(lanjutan dari bagian ke-2)

Dengan menggunakan contoh pada bagian ke-2, dalam bahasa yang mudah, Penambangan Asosiasi dapat didefinisikan (secara informal) sebagai pencarian sebuah aturan asosiasi dalam bentuk "Jika X maka Y". Di sini X dan Y adalah sebuah himpunan items. Dalam contoh sebelumnya, items sama dengan barang belanjaan (karena itulah Penambangan Asosiasi sering juga dinamakan Market Basket Analysis).

Yang harus diingat di sini adalah, himpunan X harus berbeda dengan himpunan Y. Secara matematis dikatakan "Irisan himpunan X dan himpunan Y adalah himpunan kosong (X and Y are disjoint sets)".

Sekarang kita bisa lanjutkan pembahasan dengan memperkenalkan konsep Frequent itemsets. Himpunan satu atau beberapa items disebut sebagai itemset. Frequent itemset adalah himpunan yang sering muncul dalam keranjang belanja pengunjung pasar. Dalam bahasa awam, ini bisa dikatakan sebagai barang-barang yang sering dibeli orang.

Penambangan Asosiasi tidak hanya 'menemukan' barang-barang yang sering dibeli orang, tapi juga sebuah pengetahuan dalam bentuk aturan asosiasi seperti di atas. "Jika orang sering belanja Rinso, maka dia juga sering beli Attack" (ini hanya sekedar contoh). Masalahnya pada titik pembahasan ini adalah bagaimana kita dapat menemukan bahwa barang-barang tertentu sering dibeli (frequent) orang atau tidak.

Sering atau tidaknya sebuah barang dibeli tentu saja diukur dari jumlah kemunculan (frequency) barang tersebut dalam keranjang belanja pembeli. Jika kita diberikan sebuah catatan oleh manajer pasar swalayan berisi daftar transaksi belanja selama sehari, maka kita memiliki sebuah basis data transaksi (transaction database). Basis data ini kita gunakan untuk mencari aturan asosiasi.

Sebuah contoh sederhana dari basis data semacam itu dapat disajikan seperti berikut ini:

TID Itemsets
100 a d f
200 c d e
300 b d
400 a b c d
500 b c
600 a b d
700 b d e
800 b c e g
900 c d f
1000 a b d

(akan dilanjutkan pada bagian berikutnya)

Kepongahan Mendidik

Ujian Akhir Nasional (UAN) di Indonesia memancing kontroversi. Korbannya juga tidak sekedar putus asa biasa..banyak berita terdengar siswa SMU yang tidak lolos UAN menderita depresi, malu (terhadap teman-teman dan orang tuanya), bahkan beberapa mencoba untuk bunuh diri. Dan dengan bijaknya pemerintah membuat keputusan untuk tidak mengadakan ujian ulangan.

Bagi saya, kriteria penilaian UAN itu sendiri bermasalah. Seorang siswa dikatakan lulus jika dia berhasil mengerjakan dengan baik hanya 3 mata pelajaran. Segala jerih payah pemahaman yang dilakukan siswa tersebut selama tiga tahun tidak digunakan sebagai perhitungan.

Coba sekarang kita lihat apa yang terjadi dengan kasus berikut: Seorang siswa kebetulan pada saat jadwal UAN diadakan mengalami musibah (sakit, banjir, gunung meletus, kerabat dekatnya meninggal, dsb). Siswa ini tidak akan lulus, karena dia tidak bisa mengikuti UAN, sekalipun dia memiliki prestasi bagus. Mungkin kasus saya terlalu ekstrem. Marilah kita perlunak sedikit, katakanlah sang siswa sedang sakit (flu) misalnya, sehingga dia tidak dapat berkonsentrasi dengan baik pada saat mengikuti UAN. Karena kelulusan siswa ini hanya ditentukan dari 3 hari UAN diadakan, jika gagal, tak lulus lah dia. Sungguh tak adil menilai lulus tidaknya seseorang dengan cara seperti ini.

Mari kita lihat dari sisi lain. Materi pelajaran yang diujikan dalam UAN hanyalah Bahasa Inggris, Bahasa Indonesia, dan Matematika. Nah, coba lah pikir jika siswa yang mengikuti UAN senang dan jatuh cinta dengan mata pelajaran Biologi, sedangkan kisah asmaranya dengan ketiga mata pelajaran UAN biasa-biasa saja. Kira-kira bagaimana? Padahal kalau mau ditelaah lebih jauh, siswa ini bisa jadi seorang calon dokter handal.

Pemerintah Republik ini agak pongah. Pertama, yang menanggapi soal ini terdengar vokal hanya Wakil Presiden (yang notabene adalah pengusaha). Dia lupa bahwa yang namanya belajar adalah lebih kepada bagaimana proses pembelajaran itu dilakukan, bagaimana prestasi siswa selama belajar di SMU itu berlangsung. Wakil Presiden hanya melihat hasil akhir tanpa melihat bagaimana prosesnya. Tipikal cara pikir pengusaha, yang penting bisa untung tanpa (terlalu) perduli bagaimana keuntungan itu diperoleh.

Hal kedua yang tampak aneh adalah tak ada sama sekali komentar Presiden tentang hal ini. Padahal pendidikan modal utama buat bangsa ini agar bisa berdiri sama tinggi di antara bangsa-bangsa lain.

Tampaknya memang pendidikan menjadi barang tak penting di negeri ini, sejak jaman Orde Baru, dan mungkin bahkan sejak jaman Orde Lama. Tak ada perhatian cukup untuk meningkatkan mutu pendidikan siswa dan guru-guru. Bahkan dosen-dosen perguruan tinggi pun lebih banyak dikenal sebagai dosen terbang, yang kerjanya mengajar sana, terbang ke perguruan tinggi lain, mengajar di sana. Tak ada waktu untuk menambah wawasan keilmuan. Wajar lah kalau Indonesia tertinggal dibanding mantan muridnya, Malaysia.