Thursday, July 19, 2012

Menyikapi Perbedaan Hari Raya: Awal Bulan Ramadhan 1433 H

"Sebetulnya, kapan sih kita harus mulai berpuasa Ramadhan tahun ini?"

"Kenapa sih musti beda-beda? Bikin bingung masyarakat aja deh."

"Hari Jumat atau hari Sabtu nih kita mulai puasa?"

"Tanggal 20 Juli atau 21 Juli ya, mulai puasa?"

Berbagai pertanyaan menjelang Ramadhan 1433 H kali ini muncul, seiring dengan berbagai diskusi dan pembahasan, terutama di berbagai situs internet. Di antara berbagai hal yang sering dibahas adalah banyaknya kriteria penentuan awal bulan Ramadhan, Wujudul Hilal, Imkanur Rukyat, Rukyatul Hilal. Itu pun masih ditambah lagi dengan argumentasi berbagai hadits, ayat-ayat Alquran, simulasi hisab, dan masih banyak lagi.

Di balik hiruk-pikuk diskusi itu, ada hal yang jauh lebih penting untuk diperhatikan oleh ummat Islam, yaitu bagaimana menjalani bulan Ramadhan dengan khusyuk dan niat meraih derajat Takwa. Biarlah diskusi dan argumentasi yang meramaikan suasana menjelang Ramadhan itu terjadi, tapi jangan lupa kita luruskan niat, bersihkan hati, agar Ramadhan tahun ini lebih baik daripada tahun-tahun yang lalu.

Di luar itu semua, saya sampaikan sebuah pemikiran tentang jawaban yang bisa diajukan dari berbagai pertanyaan seputar kapan dimulainya kita menjalankan ibadah shaum Ramadhan tahun ini. Semoga memberikan pencerahan untuk kedamaian dan keberhasilan kita melaksanakan ibadah Ramadhan, baik di tahun 1433 ini mau pun di tahun-tahun mendatang.

Menurut hemat saya, semua kebingungan yang muncul di kalangan masyarakat Islam selama ini sesungguhnya muncul karena ummat Islam kurang mengenal dengan baik sistem kalendernya sendiri. Coba perhatikan pertanyaan yang sering diajukan orang dalam beberapa hari terakhir ini, seperti berikut:

"Kapan kita mulai berpuasa, 20 atau 21 Juli?"

Sekilas tak ada yang aneh dengan pertanyaan itu, tapi mari kita renungkan lebih jauh. Mari bersihkan hati dari kesombongan bahwa Wujudul Hilal / Imkanur Rukyat / Rukyatul Hilal lebih baik daripada metode lain dalam menetapkan awal bulan Ramadhan.

Ada yang kurang tepat dalam mengajukan pertanyaan di atas. Apa itu?

Sesungguhnya, ummat Islam menjalankan ibadah shaum itu tak pernah terjadi di bulan Juli atau Agustus atau November. Semua nama-nama bulan itu ada dalam sistem kalender Gregorian. Kenapa harus menyandarkan diri pada sistem kalender lain, padahal sistem kalender Islam sudah ada? Seharusnya, pertanyaan di atas dinyatakan seperti ini:

"Kapan kita mulai puasa?"

Cukup di situ. Dan jawabannya sudah jelas.

"Ummat Islam berpuasa mulai tanggal 1 Ramadhan."

Kapan pun tahunnya, bulan Hijriyah di mana ummat Islam menjalankan shaum adalah Ramadhan. Coba tengok berbagai riwayat dan hadits. Tak ada sama sekali yang mengatakan misalnya, "Berpuasalah kamu pada bulan November.", atau "Berhajilah kalian pada bulan Agustus."

Dengan memahami sistem kalendernya sendiri, seharusnya ummat Islam bisa terbebas dari kebingungan kapan harus menjalankan ibadah Ramadhan.

Tapi kelihatannya masalahnya belum selesai di sini. Muncul pertanyaan lain yang tak kalah menarik:

"Iya, gue emang tahu mulai puasa itu dari tanggal 1 Ramadhan. Loe pikir gue siape? Gue bukan orang goblog, tahu! Masalahnya ini tanggal 1 Ramadhan hari Jumat atau Sabtu sih?"

Kerancuan pada hari apa puasa dimulai muncul karena, "Kalo mulai puasanya hari Jumat, tapi kita nggak puasa, berarti kan kita dosa udah ninggalin puasa."

Jawaban pertanyaan ini sesungguhnya juga bisa dijawab jika ummat Islam mengenal dengan baik sistem kalendernya sendiri. Memang ada perbedaan nama hari dalam memulai Ramadhan tahun 1433 ini. Perbedaan itu muncul karena adanya perbedaan kriteria dalam menetapkan pada hari apa bulan Ramadhan dimulai. Antara lain, ada kriteria Wujudul Hilal dan kriteria Imkanur Rukyat.

Ketika ummat Islam mengenal dengan baik dasar-dasar kedua kriteria tersebut, yang memiliki landasaran pemikiran yang sama kuatnya, kebingungan seharusnya tak perlu menjadi masalah besar. Yakini saja salah satu di antara kedua kriteria itu, karena keduanya sama-sama memiliki dasar yang kuat, yang bisa dipertanggungjawabkan. Masing-masing kriteria tentu tidak sembarangan membuat kriteria, melainkan sudah melalui proses pemikiran dan perenungan yang panjang.

Jadi, mulai puasa hari Jumat atau hari Sabtu, untuk Ramadhan tahun 1433 H kali ini, itu nggak terlalu penting. Asalkan yakin mulai tanggal 1 Ramadhan, itu berarti sudah masuk bulan Ramadhan, dan kita wajib berpuasa.

Jika yakin dengan metode Wujudul Hilal, tanggal 1 Ramadhan jatuh hari Jumat.

Jika yakin dengan metode Imkanur Rukyat, tanggal 1 Ramadhan jatuh hari Sabtu.

Dan sama sekali tak ada yang namanya perbedaan itu sekarang. Kita semua akan mulai berpuasa pada tanggal 1 Ramadhan. Dalam rangkaian ayat di surat Al-Baqarah dalam Al-quran, antara lain tercantum sebuah ayat yang mengatakan kurang lebih demikian:

Barang siapa yang hadir di dalamnya (yaitu hadir dalam bulan Ramadhan, kapan pun itu), wajib baginya berpuasa.

Perhatikan bagaimana perintah kewajiban berpuasa dalam ayat itu sama sekali tak membedakan mereka yang mulai puasanya hari Jumat atau hari Sabtu. Asalkan hati yakin Ramadhan sudah hadir, wajiblah kita menjalankan ibadah shaum.

Coba perhatikan lagi berbagai hadits dan berbagai riwayat, adakah yang mengatakan, "Berpuasalah kalian pada hari Sabtu." atau, "Berpuasalah kalian pada hari Jumat."?

Yang ada, hadits yang mengatakan, "Berpuasalah kalian jika melihat Bulan, dan berbukalah kalian jika melihat Bulan."

Wujudul Hilal, menafsirkan "melihat Bulan" bisa dilakukan dengan Hisab, atau perhitungan semata. Ya nggak masalah, karena mereka punya pemikiran dan perenungan yang panjang hingga sampai pada kesimpulan seperti itu.

Imkanur Rukyat dan Rukyatul Hilal, menafsirkan "melihat Bulan" harus dilakukan dengan pengamatan nyata di lapangan, karena redaksi haditsnya secara eksplisit menggunakan kata "ru'ya", yang bermakna "to see", "melihat dengan mata". Artinya pendapat yang kedua ini menafsirkan "melihat Bulan" tidak dapat digantikan dengan Hisab semata. Hisab dilakukan, hanya sebagai pemandu, memberikan petunjuk ke arah mana mata harus diarahkan ketika pengamatan rukyat dilakukan di lapangan.

Mungkin sampai di sini masih ada yang belum puas juga, "Itu kan berarti puasanya jadi tetep beda juga, ada yang 29 hari, ada yang 30 hari? Gimana dong?"

Sekarang kembalikan lagi kepada tujuan kita diperintahkan berpuasa Ramadhan, apakah itu gerangan?

Hai orang-orang yang beriman, telah diwajibkan bagi kamu berpuasa (di bulan Ramadhan) agar kamu menjadi orang bertakwa.

Perhatikan bahwa tujuan diwajibkannya kita berpuasa Ramadhan adalah untuk meningkatkan derajat kemanusiaan kita dari level Iman ke level Takwa. Bukannya berbantah-bantahan siapa yang paling benar puasanya, apakah mereka yang memulai hari Jumat atau Sabtu. Tujuan puasa tidak ditentukan dari berapa jumlah hari puasa yang dilakukan, apakah 29 atau 30 hari, tapi ditentukan dari kebersihan hati dan niat kita memasuki bulan Ramadhan.

Toh selama ini kita juga tak terlalu mempermasalahkan siapa yang tarawihnya paling benar, apakah yang mendirikan 11 rakaat atau 23 rakaat, bukankah begitu? Asalkan niatnya ikhlas, berapa pun jumlah rakaatnya, itu jauh lebih bermanfaat. Ikhlas, itu kuncinya. Bukan kesombongan dan tinggi hati.

Dan kalau diamati sekali lagi riwayat atau hadits tentang petunjuk berpuasa, sama sekali tidak ada redaksi hadits yang mengatakan, "Berpuasalah kalian selama 30 hari."

Percuma saja kita menjalani 29 hari Ramadhan jika hati kita penuh dengan kesombongan, tinggi hati, dan merasa lebih benar kriterianya daripada saudara-saudara kita sendiri sesama ummat Islam. Karena takwa bukan terletak pada siapa yang paling sombong, bukan pada siapa yang paling benar. Takwa itu terletak dalam hati kita masing-masing, bagaimana menghargai perbedaan pendapat untuk kemajuan bersama ummat Islam.

1 comment: